Simfoni yang Salah Alamat
Simfoni yang Salah Alamat - Pagi itu dingin dan berdebu. Di sudut stasiun kereta bawah tanah yang remang, seorang pria dengan topi kumal berdiri bersandar pada dinding. Ia mengeluarkan sebuah biola tua dari kotaknya.
Yang tidak diketahui oleh ribuan orang yang bergegas lewat adalah: biola itu bernama Stradivarius, sebuah mahakarya kayu berusia ratusan tahun yang harganya lebih mahal dari gedung stasiun itu sendiri. Dan pria itu? Ia adalah salah satu virtuoso terbaik di muka bumi.
Ia mulai menggesek senarnya. Ia memainkan Chaconne dari Bach, salah satu karya tersulit dan terindah yang pernah ditulis manusia.
Selama 45 menit, nada-nada surgawi memenuhi lorong itu. Namun, apa yang terjadi?
Ribuan orang lewat tanpa menoleh. Beberapa melempar uang receh tanpa menghentikan langkah. Seorang anak kecil mencoba berhenti untuk mendengarkan, tapi ibunya segera menarik tangannya, "Ayo cepat, kita terlambat!"
Di mata mereka, dia hanyalah pengamen biasa. Gangguan kecil di tengah hiruk-pikuk pagi. Ia pulang dengan segenggam uang receh yang bahkan tak cukup untuk membeli makan siang yang layak.
Ironinya terjadi malam harinya.
Di gedung opera yang megah, pria yang sama, mengenakan jas rapi, berdiri di bawah sorotan lampu kristal. Ia memegang biola yang sama. Ia memainkan lagu yang sama persis dengan yang ia mainkan di stasiun tadi pagi.
Bedanya?
Ribuan orang duduk terpaku, menahan napas. Mereka telah membayar tiket jutaan rupiah, berebut kursi berbulan-bulan sebelumnya, hanya untuk mendengar gesekan senar itu. Ketika ia selesai, gemuruh tepuk tangan meledak hingga beberapa orang menitikkan air mata karena terharu.
Renungkanlah ini sejenak.
Biola yang sama.
Keahlian yang sama.
Lagu yang sama.
Orang yang sama.
Lalu, kenapa di pagi hari ia dianggap "sampah" yang hanya pantas diberi recehan, sementara di malam hari ia dipuja seperti dewa?
Jawabannya menyakitkan namun sederhana: Lingkungan.
Di stasiun, ia berada di tempat di mana orang-orang sibuk, tidak peduli, dan tidak memiliki kapasitas untuk menghargai keindahan. Konteksnya salah. Maka, nilainya pun hancur.
Di gedung opera, ia berada di tempat yang memang disiapkan untuk apresiasi. Konteksnya benar. Maka, nilainya melambung tinggi.
Kisah ini bukan sekadar tentang musik. Ini adalah cermin bagi hidup kita.
Seringkali, kita merasa diri kita tidak berharga. Kita merasa karya kita jelek, usaha kita sia-sia, dan keberadaan kita tidak dianggap. Kita merasa seperti "pengamen stasiun" yang hanya dilempari remah-remah perhatian.
Lalu kita mulai menyalahkan diri sendiri. "Mungkin aku kurang pintar," "Mungkin aku tidak berbakat," "Mungkin aku memang tidak layak."
Padahal, masalahnya mungkin bukan pada dirimu.
Masalahnya adalah kamu sedang memainkan simfoni indahmu di hadapan orang-orang yang tidak mengerti caranya mendengarkan.
Kamu mencoba memberikan ketulusan pada orang yang hanya ingin bermain-main.
Kamu mencoba memberikan loyalitas pada atasan yang hanya peduli angka.
Kamu mencoba memberikan nasehat berharga pada teman yang telinganya tertutup ego.
Sebotol air mineral di warung pinggir jalan harganya 3 ribu rupiah. Botol yang sama, merek yang sama, air yang sama, jika dijual di hotel bintang lima harganya bisa 50 ribu rupiah.
Airnya tidak berubah. Tempatnya yang berubah.
Jadi, jika hari ini kamu merasa tidak dihargai, berhentilah meragukan nilaimu. Berhentilah menurunkan kualitas "permainan biola"-mu hanya karena orang lewat tidak peduli.
Jangan ubah dirimu.
Ubahlah tempatmu berdiri.
Kemas barang-barangmu, dan berjalanlah menuju tempat di mana karyamu dirayakan, bukan sekadar dimaafkan. Temukan "panggung" di mana orang-orang siap mendengarkanmu. Karena di tempat yang tepat, kamu bukan lagi sekadar pengamen; kamu adalah mahakarya.

Leave a Comment