Bunga disemak belukar
Bunga disemak belukar - Kita tidak pernah menyodorkan proposal kepada Tuhan tentang di mana kita ingin dilahirkan. Kita adalah benih yang diterbangkan angin nasib, jatuh begitu saja tanpa bisa memilih tanah.
Kita tidak pernah menyodorkan proposal kepada Tuhan tentang di mana kita ingin dilahirkan. Kita adalah benih yang diterbangkan angin nasib, jatuh begitu saja tanpa bisa memilih tanah.
Ada benih yang jatuh di tanah gembur, di dalam pot keramik mahal, disiram setiap pagi, dan dijaga dari hama. Mereka tumbuh lurus, cantik, dan sempurna.
Tapi ada benih—mungkin itu kamu—yang jatuh di sela-sela bebatuan, atau di tengah semak belukar yang berduri.
Di sana, sinar matahari adalah barang mewah yang harus diperebutkan. Nutrisi tanah sudah habis dihisap oleh ilalang-ilalang liar yang serakah. Setiap hari, kamu melihat ke atas, menatap bunga-bunga lain yang tumbuh di taman seberang. Mereka mekar dengan warna cerah, kelopaknya utuh tanpa cacat.
"Kenapa bukan aku?" bisikmu. "Kenapa aku harus menghabiskan seluruh energiku hanya untuk bertahan hidup, sementara mereka menghabiskan energinya untuk memamerkan keindahan?"
Dalam diam, kamu memelihara harapan yang naif. Kamu berharap ada "Tukang Kebun"—entah itu keberuntungan, seseorang yang kaya, atau keajaiban—yang datang mencangkul tanahmu, mengangkat akarmu pelan-pelan, dan memindahkanmu ke pot yang indah itu.
Tapi hari berganti minggu, minggu berganti tahun. Tukang kebun itu tidak pernah datang.
Dan pemandangan di sekitarmu mulai mengerikan.
Kamu melihat teman-teman sesama bunga kecil di sampingmu satu per satu menyerah. Akar mereka membusuk karena tanah yang terlalu lembap, atau batang mereka patah terinjak kaki-kaki raksasa yang tidak peduli. Mereka mati muda, membusuk menjadi pupuk bagi semak belukar yang justru semakin tinggi menindasmu.
Lalu, ada segelintir yang tersisa. Termasuk kamu.
Kalian tumbuh, tapi tidak indah.
Batangmu bengkok karena harus meliuk mencari celah cahaya di antara duri. Daunmu sobek dimakan ulat yang tak terurus. Kelopak bungamu tidak utuh, warnanya pudar karena terlalu sering dihajar hujan badai tanpa peneduh.
Kamu cacat. Kamu terluka. Tapi, demi Tuhan, kamu hidup.
Di sinilah letak ironi terbesar tentang keadilan.
Kita sering berteriak, "Ini tidak adil!"
Benar. Memang tidak. Siapa yang pernah menjanjikan bahwa dunia ini adil? Keadilan seringkali hanyalah dongeng yang diceritakan oleh orang-orang yang perutnya kenyang kepada mereka yang kelaparan, agar yang lapar tetap tenang.
Bahkan "keadilan" yang terlihat mata pun seringkali bias. Ketika bunga pot itu dipuji karena keindahannya, orang lupa bahwa itu adalah keindahan yang "disuapi". Sementara ketika kamu dipandang sebelah mata karena kelopakmu yang sobek, orang lupa bahwa sobekan itu adalah tanda jasa dari perang melawan kematian.
Jadi, untuk kamu, bunga yang tumbuh di semak belukar:
Berhentilah menunggu dipindahkan. Berhentilah berharap tanahmu akan berubah menjadi taman surga.
Terimalah luka-lukamu sebagai trofi. Kelopakmu yang tak utuh itu adalah bukti bahwa semak belukar gagal membunuhmu.
Mungkin kamu tidak akan pernah seindah bunga di dalam pot kaca. Tapi akarmu? Akarmu jauh lebih kuat, mencengkeram bumi lebih dalam daripada yang pernah mereka bayangkan. Kamu tumbuh bukan karena dimanjakan, tapi karena kamu menolak untuk mati.
Dan terkadang, keberanian untuk tetap mekar di tempat yang salah, adalah satu-satunya bentuk perlawanan paling elegan yang bisa kita lakukan terhadap dunia yang tidak adil ini.

Leave a Comment